
Melakukan penurunan emisi secara global dengan target 50% carbon dioksida sampai dengan tahun 2050 untuk menghindar dampak terburuk dari perubahan iklim di seluruh dunia telah menjadi pekerjaan rumah untuk setiap negara utamanya negara maju. Pencapaian target ini hanya dapat dicapai dengan decarbonize atau penurunan ketergantungan penggunaan energi fosil. Mengurangi emisi CO2 pada setiap unit aktivitas ekonomi dengan target 4% per tahun diharapkan dapat tercapai untuk menjaga kondisi bumi seperti saat ini.
Angka mengurangi 4% mungkin tampak kecil, tetapi apabila kita mempertimbangkan pertumbuhan emisi yang terjadi sejak era industrialisasi manusia pada tahun 1860 yang tumbuh secara stagnan dan meningkat sebesar 1,3%.
Pada tingkatan suatu negara mencapai angka decarbonisasi 4% per tahun sangat sulit untuk dicapai di negara maju sekalipun. Penelitian terbaru dari Breakthrough Institute yang meneliti sejarah tingkat decarbonisasi diantara negara-negara maju yang termasuk dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
Mencermati tingkat perkembangan decarbonisasi pada negara-negara OECD secara historis pada kelanjutan decarbonisasi yang dicapai negara maju hingga saat ini. Hal ini akan memberikan pandangan mengenai arah kebijakan suatu negara dalam berkontribusi untuk penurunan emisi secara global untuk mitigasi perubahan iklim.
Analisis: Negara Apa Yang Mengurangi Intensitas Carbon Paling Agresif?
Analisa ini meneliti sejarah decarbonisasi 26 negara OECD dengan rentang waktu 1971-2006. Negara anggota OECD yang tidak termasuk dalam data ini adalah Estonia, Slovenia, Iceland, Luxemborg, Republik Ceko, Republik Slovakia. Data GDP dan populasi berasal dari Angus Maddison, sementara data energi dan emisi CO2 dari Internaional Energy Agency (IEA) energy statistic database.
Secara rata-rata dalam rentang waktu 1971-2006 ke-26 negara OECD melakukan decarbonisasi 1,5% sedikit lebih baik dari capaian global pada tingkat 1,3%. Swedia memimpin prosentase penurunan emisi dengan 3,6% pertahun dan Portugal masih berkontribusi pada pertumbuhan emisinya sebesar 0,7% pertahun.
Hanya terdapat lima negara yang mampu melakukan decarbonisasi secara berkelanjutan tiap tahunnya sehingga secara historis menurunkan angka pertumbuhan emisinya hingga dua digit. Yaitu, Swedia (3,6%), Irlandia (3,2%), Inggris dan Perancis (2,8%) serta Belgia (2,6%).
Sedangkan Jerman (2,5%), Amerika Serikat, Denmark dan Polandia (2,3%) Hungaria dan Belanda (2,0%) mencapai penurunan lebih baik dari rata-rata global.

Faktor Utama Pendorong Decarbonisasi
Decarbonisasi terdorong oleh dua faktor utama dalam aktivitas ekonomi suatu negara yaitu; perubahan intensitas energi pada aktivitas ekonomi (atau penggunaan energi per unit GDP) dan perubahan pada intensitas carbon pada suplai energi (atau CO2 per unit energi).
Angka rata-rata tahunan dari perubahan CO2/GDP adalah total dari rata-rata perubahan Energi/GDP dan CO2/Energi, sehingga memungkinkan untuk di telisik perubahan intensitas energi dalam setiap negara atau intensitas karbon dari suplai energi yang mendorong decarbonisasi.
Pada lima negara teratas, kondisi ini dapat dipisahkan menjadi dua arah. Swedia dan Prancis melakukan decarbonisasi dengan merubah suplai energinya, sedangkan Irlandia dan Inggris melakukannya dengan meningkatkan intensitas energinya. Decarbonisasi di Belgia di dorong dengan kedua faktor tersebut. Dua strategi decarbonisasi tersebut dijabarkan sebagai berikut;
Swedia dan Prancis: Pemerintah mendorong dari Suplai Energi Zero-Carbon
Swedia dan Prancis melakukan decarbonisasi pada aktivitas ekonomi mereka dengan transformasi arah kebijakan suplai energi mereka. Terkait dengan "oil shocks" pada era 1970an. Swedia dan Prancis menggunakan arah kebijakan pemerintah untuk menggantikan suplai energi dari minyak bumi, dengan meningkatkan program nuklir baru mereka. Rendahnya penggunaan batu bara dan konflik di masa lalu dengan Jerman pada Perang Dunia kedua membuat Prancis meningkatkan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir mereka untuk menggantikan pembangkit listrik batu bara yang tersisa sehingga meningkatkan bauran energi nasional Prancis.
Pada gambar dibawah menunjukkan peningkatan yang signifikan dari pengembangan proyek pembangkit listrik nuklir sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1986 unguk menggantikan minyak bumi pada suplai energi utama Swedia yang berkomposisi terbesar pada sektor energi nuklir dan hydro. Ketergantungan minyak bumi hanya digunakan untuk transportasi, sektor energi terbarukan (dari biomassa untuk penghangat). Bauran energi Swedia saat ini 65% zero carbon dan mempunyai komposisi yang bercampur dari tenaga hydro, nuklir, biomassa dan sedikit dari batubara.

Seperti halnya Swedia, pada komposisi bauran energi Perancis yang secara signifikan meningkatkan program nuklir mereka untuk menggantikan minyak bumi dan batu bara. Kebijakan nuklir pemerintah Perancis secara langsung dikendalikan oleh pemerintah dalam hal penelitian, pengembangan dan instalasi teknologi nuklir mereka untuk menjamin keberlanjutannya.
Mungkin hal yang paling krusial dalam kebijakan nuklir Perancis adalah strategi procurement-nya yang tersentral pada satu standar teknologi produksi nuklirnya. Yaitu, reaktor tekanan air dari satu manufaktur, Framatome (sekarang Areva NC) perusahaan yang dimiliki pemerintah. Fokus pada satu jenis tipe reaktor dan standarisasi oleh pemerintah serta skala ekonominya membuat pertumbuhan dan instalasinya cepat dalam mengembangkan industri nuklir. Perancis memiliki 59 reaktor nuklir yang menghasilkan 63 gigawatts listrik pada tahun 2007, yang memenuhi 75% suplai energi nasional, dengan tambahan dari energi listrik hydro. 90% listrik Perancis dihasilkan dari dua jenis energi tersebut.

Irlandia dan Inggris: Deindustrialisasi dan Perubahan Sektor Aktivitas Ekonomi
Perbedaan kontras dari Swedia dan Perancis pada Irlandia dan Inggris yang menganut prinsip meningkatkan intensitas energi yang mengarah pada decarbonisasi. 89% decarbonisasi di Irlandia dan 78% di Inggris didatangkan dari pengurangan dalam Energi/GDP
Umumnya perbaikan dalam intensitas energi dipandang meningkatkan efisiensi energi. Realitasnya dua isu ini membuat asumsi semakin runyam: Pertama, perubahan secara sektoral dalam aktivitas ekonomi nasional secara signifikan berdapat pada intensitas output ekonomi, dengan intensitas energi di pertanian atau industri dengan jasa, sebagai contohnya. Kedua, peningkatan dalam energi efisiensi dari teknologi pembangkit listrik akan membuat perubahan trend intensitas energi, walaupun perhitungan tersebut berkaitan dengan kebijakan dan faktor produksi energi.
Pada kasus Inggris, kedua hal tersebut tampaknya saling terkait. Industri manufaktur dalam kontribusi GDP Inggris telah menurun dari 28% pada tahun 1971 menjadi 11% pada tahun 2006, 59% penurunan, hampir dua kali penurunan pada anggota negara OECD. Import telah meningkat pada GDP Inggris dari 21% pada tahun 1971 menjadi 30% pada tahun 2006, walaupun perbandingan import ini hampir setara dengan negara anggota OECD lainnya.
Bauran energi listrik Inggris secara drastis berubah dari pembangkit listrik bertenaga batu bara menjadi gas alam dalam kebijakan "Dash for Gas" di tahun 1990 saat Margaret Thatcher bersitegang dengan kelompok tambang batu bara saat produksi gas alam berlebih di lapangan North Sea, kebijakan Dash for Gas berkontribusi dalam decarbonisasi Inggris pada suplai energi, dan meningkatkan intensitasnya. Saat pembangkit listrik batu bara lama digantikan dengan sistem kombinasi modern bersama gas alam melalui efisiensi yang meningkatkan produksinya dua kali lebih baik dari sebelumnya.

Sampai dengan tahun 1990 Inggris secara agresif telah mengimplementasikan kebijakan efisiensi energi yang siginifikan menurut IEA. Peningkatan intensitas energi Inggris tersebut membantu deindustrialisasi dan merubah wajah ekonomi Inggris dan sektor pembangkit listrik pada usaha memperbaiki efisiensi energi dan konsumsi energinya.
Irlandia mempunyai karakter perubahan yang serupa dengan Inggris pada transisi ekonomi mereka dalam periode waktu 1971 hingga 2006. Sektor manufaktur mempunyai kontribusi yang kurang lebih sama tetapi pada sektor pertanian menurun sebanyak 15% pada tahun 1971 menjadi 1% pada tahun 2006 pada kontribusi GDP Irlandia. Pada saat yang sama peningkatan sektor jasa, retail dan perdagangang, restoran dan hotel meningkat hampir dua kalinya dari 22% pada tahun 1971 menjadi 41% pada tahun 2006. Walaupun perubahan transisi aktivitas ekonomi ini memberikan kontribusi pada peningkatan intensitas energi Irlandia saat ini.
Kesimpulan
Melalui ilustrasi diatas maka usaha untuk melakukan decarbonisasi 4% pertahun dapa dicapai dengan arah kebijakan pemerintahan suatu negara untuk menerapkan teknologi zero-carbon di sisi suplai energi. Swedia dan Perancis mencapai peningkatan energi bersih mereka pertahun 2-2,5% pertahunnya, dari tahun 1971 hingga 2006.
Perubahan sektor aktivitas ekonomi pada kasus Inggris dan Irlandia juga menjadi faktor intensitas energi karena terjadinya deindustrialisasi telah mendorong decarbonisasi dengan intervensi pemerintah melalui perubahan bauran energi di sisi suplai.
Tampaknya arah kebijakan energi bersih atas dorongan pemerintah menjadi kunci utama keberhasilan decarbonisasi lebih lanjut. Posisi Indonesia saat ini menunjukkan adanya etikat dari pemerintah pada arah bauran energi terbarukan dengan perbaikan kebijakan di pembangkit listrik energi terbarukan seperti geothermal, hydro, surya dan angin.
sumber: theenergycollective
Tidak ada komentar :
Posting Komentar