Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 27 Desember 2012

Target Penurunan GRK Indonesia Diragukan

Tidak ada komentar :
Dede Ratih dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mempertanyakan penentuan angka emisi tanpa intervensi atau business as usual yang menjadi landasan perhitungan target untuk tiap sektor yang dilakukan institusi lembaga dan kementerian pada tiap sektor. Menurut Dedea, usaha penurunan GRK tidak jelas bakal tercapai karena  perhitungan emisi nasional berdasarkan BAU tidak jelas angkanya.

"Terdapat beberapa angka BAU yang dikeluarkan berbeda kali sejak tahun 2010. Menurut saya, perhitungan BAU itu seharusnya dinamis berdasarkan aktivitas pembangunan yang berkembang seiring berjalannya waktu," kata Dede, pada hari Jumat (21/12/2012) di Jakarta.

Dia meragukan angka BAU yang dikeluarkan pemerintah. "Misalnya kehutanan dan lahan gambut sudah memiliki target penurunan emisi. Artinya telah diperhitungkan berapa luas hutan dan perubahan fungsi lahan yang telah dilakukan. Berapa batasnya wilayahnya. Tampaknya kebijakan itu tak ada di pemerintahan Indonesia. Seharusnya pemerintah lebih transparan mengenai perhitungan BAU dan target-target penurunan GRK," katanya.

Target yang ditetapkan dalam RAN GRK, yaitu 0,767 Gigaton CO2 ekivalen (satuan emisi) didapatkan angka BAU pada kisaran 2,95 Gigaton CO2 ekivalen.

Pada tahun 2009 di Pittsburgh, AS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan target penurunan 26 persen dari BAU tahun 2010 melalui upaya sendiri dan 41 persen dari BAU apabila mendapatkan bantuan dari pihak luar negeri.

Pada hari Kamis (20/12/2012) tujuh kementerian melaporkan kemajuan pelaksanaan inventarisasi dan penurunan emisi gas rumah kaca pada acara National Summit Perubahan Iklim ke-2. Secara umum, masalah koordinasi antar lembaga dan kementerian lain serta dengan pemerintah daerah masih perlu ditingkatkan.

Pada kesempatan yang dihadiri tiga  menteri yaitu Menteri Lingkungan Hidup Berth Kambuaya, Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, serta Menteri Pertanian Suswono, dan Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun. Sementara ketiga  menteri dari tiga kementerian lainnya diwakilkan kepada pejabat lainnya. Ketiga kementerian yang tidak hadir yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Perhubungan. Koordinasi dan sinkronisasi

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Haryono, koordinasi pusat dan daerah memegang peranan penting karena terkait dengan konversi lahan pertanian dan perubahan fungsinya. Sementara dari sektor energi, menurut Sekjen Dewan Energi Nasional Lobo Balia, sinkronisasi kebijakan, peraturan, dan program untuk inventarisasi dan mitigasi GRK di bidang energi dan sumber daya mineral perlu terus ditingkatkan.

Kebijakan penggunaan energi baru dan terbarukan tak kunjung terwujud. Misalnya, bahan bakar gas terkendala infrastruktur stasiun pompa bahan bakar gas. "Pembangunan infrastruktur itu kewenangan pemerintah daerah, bukan Kementerian ESDM," ujarnya.

Pengembangan energi panas bumi, kendalanya antara lain regulasi daerah - harus terdapat izin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi. Di bidang pertanian, menurut Suswono, penyediaan lahan pertanian akan semakin sulit karena konversi lahan dilakukan secara masif oleh pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan otonomi daerah.

Saat ini luas lahan sawah Indonesia sekitar 13,1 juta hektar bandingkan dengan luas lahan sawah Thailand dengan jumlah penduduknya seperempat Indonesia yang memiliki lahan seluas 9 juta hektar.

Staf Ahli Menteri  Bidang Lingkungan Kementerian Perhubungan Wendy Aritenang menambahkan, kebijakan untuk mengembangkan transportasi massal kota amat bergantung pada kebijakan masing-masing kota dan kabupaten.

Target penurunan emisi sebesar 0,767 Gigaton CO2 ekivalen, dengan kontribusi terbesar pada sektor kehutanan dan gambut yaitu 0,672 Gigaton CO2 ekivalen dilaporkan telah tercapai 0,489 Gigaton CO2 ekivalen.

Target penurunan bidang pertanian sebesar 0,008 Gigaton CO2 ekivalen, energi dan transportasi 0,038 Gigaton CO2 ekivalen, pengelolaan limbah 0,048 Gigaton CO2 ekivalen, sektor industri 0,001 Gigaton CO2 ekivalen.

Selain penurunan berdasarkan sektor, terdapat target penurunan GRK oleh tiap provinsi yang dicanangkan melalui Rencana Aksi Daerah (RAD).  Target-target tersebut ditetapkan dari BAU yang besarnya 2,95 Gigaton CO2 ekivalen.

Dede mempertanyakan, apakah benar semua aktivitas telah diperhitungkan emisinya. "Contoh gampang adalah kehutanan. Tidak semua izin pembukaan lahan hutan yang ada di daerah itu diketahui oleh pemerintah pusat. Kalau berdasarkan pencitraan satelit tetap harus mendapatkan klarifikasi dari pemerintah daerah," ujarnya.

sumber: kompas

Tidak ada komentar :

Posting Komentar