
Tanggal 21 April di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini, identik dengan pergerakan emansipasi perempuan, sedangkan pada tanggal 22 April, diperingati sebagaiHari Bumi, atau Earth Day.
Peringatan hari Bumi ini muncul pertama kali pada 1970 yang diusung oleh seorang Senator dari Partai Demokrat Amerika Serikat yaitu Gaylord Nelson. Dia memprakarsai suatu aksi damai yang diikuti oleh 20 ribu orang dalam rangka menekan Pemerintah Amerika Serikat agar memperhatikan Isu-isu lingkungan hidup dalam setiap kebijaksanaan publik. Pada mulanya Peringatan hari bumi ini hanya menjadi kegiatan Lokal-Nasional di Amerika Serikat, akan tetapi lambat laun seiring dengan meningkatnya kesadaran ekologi (ecological awareness) secara kolektif sebagai respon atas menurunnya kualitas lingkungan hidup dengan isu utama Global Warming, hari Bumi pun diperingati oleh hampir seluruh negara di dunia.
Di dalam pergerakan lingkungan sendiri, bagaimanakan kiprah perempuan?
Di Eropa, Pada tahun 1974 oleh seorang Prancis yang bernama Francoise d’ eaubonne, dalam bukunya La feminisme Ou la Mort yang pertama kali memunculkan istilah ekofeminisme. Dame Jane Morris Goodall seorang ahli primata dari Inggris yang terkenal dengan penyelidikannya tentang simpanse.
Di Asia, ternyata pada jauh sebelumnya di India terjadi gerakan Chipko pada tahun 1947. Saat itu para perempuan di Kota Reni wilayah Pradesh memeluk erat pohon-pohon yang akan ditebang untuk suatu tujuan kolonial. Mereka menganggap bahwa pepohonan itu adalah kehidupan mereka dan warisan leluhur yang harus dilestarikan. Dalam aksi yang dikenal sebagai Chipko Movement ini, terselamatkan ratusan areal hektar hutan yang akan ditebang.

Dari India juga ada Vandana Shifa, seorang ilmuwan fisika yang terjun dalam aktivitas penyelamatan lingkungan hidup. Lalu Di Indonesia kita mengenal Nama-nama seperti Erna Witoelar, Ully Sigar Rusadi serta Katrina Koni, Ki’i penerima kalpataru 2005, atas aksinya menanam ribuan pohon tanah Sumba. Perempuan Indonesia lainnya, Yuyun Yunia Ismawati yang aktif menyuarakan kebersihan di pantai-pantai Bali bersama organisasi Bali fokusnya. Juga Harini Bambang Wahono yang berjuang memberantas sampah di Kampung Banjarsari bahkan juga menciptakan lingkungan yang asri di kampung tersebut. Bahkan Kampung Banjarsari pun sempat menjadi desa percontohan UNICEF.
Mei Ng dari China bekerja keras untuk menciptakan kesadaran akan lingkungan di seluruh daratan China. Ia juga mendirikan pusat pendidikan energi terbaharukan pertama di Hongkong. Pada tahun 2002 dia terpilih menjadi Dewan Penasihat Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di benua Afrika, dimulai dengan Dr Wangari Muta Maathai. Perempuan kulit hitam ini mendirikan gerakan sabuk hijau pada tahun 1977 yang bertujuan untuk mencegah erosi tanah dan tetap menjaga keberlangsungan kayu di hutan. Maathai memotivasi ibu-ibu di Afrika mengumpulkan bibit tanaman, menanamnya serta menjaga hasilnya. Karena inilah akhirnya ia digelari Mama Mitii yang berarti ibu pepohonan.
Di Amerika, Rachel Carson, adalah salah satu penulis yang perpengaruh dalam pergerakan lingkungan. Biolog kelautan dan juga seorang penulis yang tulisannya sering berhubungan dengan peluncuran pergerakan lingkungan global. Pada akhir tahun 1950-an, Carson mengubah perhatiannya pada konservasi dan masalah lingkungan yang disebabkan oleh pestisida, dan lalu ia menulis Silent Spring pada tahun 1962. Selain itu juga ada Julia Butterfly Hill atau Julia Hill yang terkenal dengan perjuangannya mempertahankan sebatang pohon sequioia raksasa dengan tinggal di atas pohon tersebut selama 738 hari 10 Desember 1997 hingga 18 Desember 1999 .
Salah seorang aktivis lingkungan perempuan bernama Dian Fossey memfokuskan dirinya untuk mempelajari keluarga gorila selama bertahun-tahun di Rwanda. Lalu di akhir abad 20, kita juga mengenal. Erin Brockovitz, seorang pejuang aktivis lingkungan yang berani menentang arogansi kaum Laki-laki dalam perlakuan terhadap lingkungan hidup, khususnya pembuangan limbah Industri.
Tahukan Anda? Perempuan merupakan lebih dari setengah populasi dunia. Wanita membuat 85 persen dari semua pilihan konsumen. Perempuan bisa memimpin jalan menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan!
Perempuan tidak diragukan lagi memilki kontribusi yang signifikan dalam pergerakan lingkungan. Akses pendidikan dan kesempatan yang luas bagi perempuan akan memungkinkan mereka dapat lebih banyak berkontribusi positif di dalamnya, secara individual maupaun secara kelompok dalam keseharian.
Sumber: berbagai sumber
Tidak ada komentar :
Posting Komentar